Ulasan singkat dari pembacaan buku
(Laskar Pemimpi; Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi Indonesia.) karya
Nurhady Sirimorok.
Oleh : Dea Elsaid
Buku ini berangkat dari bahasan tentang
Andrea Hirata dan karyanya yang banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia.
Di dalamnya menguak ihwal modernisasi Indonesia yang merupakan warisan masa
orde baru. Penulis menjelaskan secara gamblang apa sebenarnya yang tertanam di
kepala masyarakat—hingga mengapa buku Andrea Hirata laris terjual lebih dari
600.000 eksemplar. Karya ini bukan sekadar kritik tajam untuk Andrea melainkan
analisa yang tajam dan terstrukur untuk perkembangan dunia sastra. Saya
tertarik memiliki buku ini sebab membaca karya kritik merupakan pijakan untuk
mengenali karya sastra dengan lebih mendalam dan baik.
Membaca ulasan para pembaca “Laskar
Pelangi” memang terlihat sebagian mereka masih dikuasai gagasan hierarkis bahwa
desa lebih rendah di bawah kota, bahwa hanya hidup di kota yang menjanjikan
kebahagiaan dan kesuksesan. Menyambung pikir bahwa persoalan modernisasi memang
telah menggerogoti pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka
mengalami (Minder high complex) merasa
minder saat bertemu dengan orang asing/luar negeri. Anda bisa bayangkan atau
mungkin biasa melihat di Pantai. Ketika ada orang bule pasti akan diajak
berfoto—itu karena menganggap bahwa mereka lebih pintar, mereka lebih modern
dari orang Indonesia dan hal tersebut yang menguasai alam pikir orang Indonesia,
sampai hari ini. Maka berlomba-lombalah mereka untuk menciplak gaya
kebarat-baratan. Modernisasi tentunya berdampak bagi sosial budaya. Bahaya
wasternisasi karena mampu menghilangkan moral dan nasionalis karena meniru
aktivitas barat yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
“Anak-anak mereka harus
disekolahkan di sekolah formal, paling baik ke luar negeri, Eropa, Amerika,
Australia, atau negara-negara maju lainnya. Mereka harus mendapat pekerjaan
kerah putih, bukan petani atau nelayan terpuruk, jadi korban orientasi ekonomi
Indonesia yang mau modern. Mereka harus punya rumah, kalau bisa kendaraan
sendiri, dan paling jauh memikirikan keluarga sendiri saja. Mereka mesti
belanja ke mall, main ke cafe, pelesir ke luar kota atau ke luar negeri,
sebagaimana model manusia tipe-ideal, orang-orang urban modern, yang ingin
mereka gugu. Mereka harus belanja terus untuk merebut cap modern. Ingat, yang
tradisional dan kritis, atau hibrida keduanya dengan Islam, sudah nyaris
tumbang dilumpuhkan secara politik dan kultural.” (43-44)
Kita bisa bayangkan kalau seluruh
warga Indonesia modern. Di mana lagi kita akan mendapatkan bahan makanan untuk
melanjutkan hidup? siapa lagi yang ingin melaut dan mencari ikan, siapa lagi
yang ingin bergerak di bidang pertanian sehingga kita bisa menikmati nasi
hangat bersama sayur hijau yang menyehatkan.
“Pembangunan membutuhkan
kestabilan, yang mengakibtkan pelanggaran HAM. Pembangunan juga butuh bahan
baku, yang merusak alam dan konflik dibanyak tempat. (51)
Hal diatas memang sangat kontras hari
ini. Masyarakat yang kritis, yang saat menyampaikan aspirasi namun tak
dihiraukan—berujung pengrusakan fasilitas umum akan disebut sebagai vandalisme,
sementara pembabatan hutan yang mengakibatkan sulitnya udara bersih atau
oksigen, banyak bencana alam, disebut
sebagai pembangunan. Saya mengelak bahwa menyukai pengrusakan, namun keadilan
masih memihak pada yang kuat. Seandainya telah ada pemerataan keadilan maka
aksi protes yang disertai kekerasan, kriminalitas yang merebak, kemiskinan
hingga kelaparan akan terkendali dengan baik.
Perihal karya sastra, saya baru
sadar bahwa ada satu masa dimana bacaanpun dikontrol dari narasi dan
bentuknya—lalu yang menjadi rujukan adalah paradigma menuju modernisme. Virus
ini masih merebak, penulis juga memperlihatkan betapa hebatnya pengaruh
orientalisme dan pandangan modernitas dalam karya Andrea. Saya setuju dengan
pendapat Nurhady bahwa “komentar pembaca bukan untuk konsumsi para penentu
standar kualitas karya sastra. Tetapi untuk diri sendiri, yang datang dari pengalaman
masing-masing pembaca.”
Hemat saya, saya sangat mendambakan
karya-karya seperti ini. Karya kritis yang berbobot, membersihkan mata yang
buram terhadap pandangan yang homogen. Ada banyak hal yang tanpa disadari, kita
membaca lalu menerimanya secara mentah-mentah. Setelah ini saya harus berubah
dalam memilih bacaan, tidak lagi tertipu dengan label buku “best seller.”
Komentar
Posting Komentar