PEREMPUAN DI TITIK NOL (Penulis Buku : Nawal el-Saadawi) Oleh : Dea Elsaid

    

    Pernah, bertahun-tahun yang lalu aku melihat novel ini digenggaman temanku, juga di pajang dan dibuat status sosial media oleh teman facebook. Tapi baru tahun ini aku memilikinya.

Aku selalu percaya akan ada waktu di mana kita akan bertemu dengan sesuatu hal yang tidak direncanakan maupun telah direncanakan secara matang. Bagiku, berhadapan dengan buku—membacanya hingga tuntas dan ceritanya membekas adalah sebuah rejeki di mana kita bertemu sebuah lingkungan baru yang membuat kita belajar tentang kehidupan dan memetik hikmah lewat teks. Novel sastra Arab yang telah diterjemahkan oleh Amir Sutaarga atas izin Zed Books Ltd., London ini diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Novel bersampul merah, dalam psikologi warna merah memberi arti sebuah simbol keberanian, kekuatan dan energi.

            Ada sebuah penelitian yang membicarakan tentang tema dalam novel ini. Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memperkaya karya fiksi yang diciptakannya (Aminuddin,2004). Tema dibagi menjadi dua, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema juga memiliki beberapa tingkatan. Novel perempuan di titik nol memiliki dua tingkatan tema yaitu organik dan egoik (Shipley, 1962). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tema novel ini adalah keberanian seorang perempuan dalam menegakkan eksistensinya.

            Sebelumnya, mungkin karena ini novel terjemahan jadi bahasanya sedikit sulit dipahami. Novel ini juga sebaiknya dibaca oleh orang yang berusia 17+ dan jika ada yang membacanya di bawah usia tersebut sebaiknya ada orang tua yang mendampingi agar pemahamannya tidak salah kaprah.

“Biarkan saya berbicara jangan memotong pembicaraan saya. Saya tak punya waktu untuk mendengarkan anda. Mereka akan datang menjemput saya pukul enam malam ini. Besok pagi saya tak akan berada di sini lagi. Saya juga tidak akan berada di tempat manapun yang diketahui orang.”

            Kutipan di atas adalah pembuka yang seolah membuat pembaca ingin segera berlari melewati halaman demi halaman untuk mengetahui nasib malang Firdaus. Firdaus bercerita pada Nawal el-Saadawi seorang dokter sekaligus penulis novel ini. Bermula di penjara Qanatir setelah penulis berhasil bertemu dengan Firdaus sebelum di hukum gantung. Sebagai seorang pembaca, saya mengira-ngira alasan mengapa buku ini berhalaman 176 dengan ukuran buku 11x17 cm, menurutku ukuran buku ini  kecil dan tipis karena penulis hanya bertemu dan mendengar cerita Firdaus sehari dan setelahnya tidak bertemu lagi sebab Firdaus telah dihukum gantung. Mungkin saja masih ada cerita lain yang belum Firdaus sampaikan? mungkin saja tapi entahlah.

            Firdaus kecil hidup bersama ayahnya, seorang petani miskin yang tak mengenal huruf untuk dibacakan atau dituliskan. Di kepalanya hanya berpikir bagaimana cara menanam dan menjual kerbau yang sudah diracuni oleh musuhnya sebelum mati. Bagaimana menukar anak perawannya dengan imbalan mas kawin bila masih ada waktu, bagaimana cara mendahului tetangganya mencuri tanaman pangan yang matang di ladang.

Meski demikian, Ayah Firdaus tetap melaksanakan salat Jum’at di masjid dengan pakaian bersihnya. Mereka menyebutnya galabeya sebuah jubah longgar dan panjang hingga ke tumit.

“Jika salah satu anak perempuannya mati, ayah akan menyantap makan malamnya, ibu akan membasuh kakinya, dan kemudian ia akan kembali tidur, seperti ia lakukan setiap malam. Apabila yang mati itu seorang anak laki-laki, ia akan memukul ibu, kemudian makan malam dan merebahkan diri untuk tidur”

Kekerasan dan diskriminasi itu bermula dari keluarga inti Firdaus, keluarga yang seharusnya menjadi rumah tempat melepas lelah. Ia hidup dengan seorang bapak yang hanya memikirkan perut sendiri, dan bersama seorang ibu yang menjadikan suaminya sebagai seorang raja tanpa memberikan kasih sayang sebagaimana mestinya kepada sang anak. Padahal keluarga juga menjadi penentu pembentukan karakter seseorang yang memiliki unsur psikologis sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. Sayangnya, pengetahuan itu tidak sampai di hati apalagi di kepala ayah Firdaus.

Firdaus memiliki seorang paman yang juga memiliki peran dalam kehidupan Firdaus. Pamannya seorang mahasiswa Al- Azhar Kairo yang mengajar Firdaus memegang kapur tulis dan mengenalkan huruf alif-ba-ta............... selain itu, pamannya juga melakukan pelecehan kepada Firdaus dan peran itu salah satu hal yang membentuk karakter Firdaus. Ketika kedua orang tua Firdaus meninggal, pamannya membawa Firdaus ikut ke Kairo hingga Firdaus bisa lulus dan mendapat ijazah Sekolah Menengah Pertama.

Menyingkat pembahasan, setelah Firdaus lulus sekolah ia harus kembali ke rumah pamannya yang baru saja sudah menikah. Istri sang paman ternyata tidak layak dikatakan sebagai seorang keluarga meskipun hanya secara hukum. Di rumah itu Firdaus dijadikan sebagai seorang pembantu lalu berakhir dengan perjodohan yang mengerikan.

            Firdaus menikah dengan Syekh Mahmoud seorang lelaki tua yang kaya namun kikir, yang kehidupannya hanya berbicara untung dan rugi. Setelah pernikahan itu terjadi, pernikahan yang kemungkinan besar seluruh perempuan yang ada di semesta ini tak menginginkannya. Firdaus tidaklah menjadi seorang istri sebagai mana seharusnya, bahwa memiliki pasangan mampu memberi ketenangan, bahwa antara satu jiwa bertemu dengan satu jiwa harus inheren, saling melengkapi dan menyayangi. Tapi Firdaus hanya sekadar pesuruh yang digaji dengan sepiring makanan dan hanya dijadikan sebagai budak seksual semata.

            Di sanalah kegetiran hidup Firdaus mulai memuncak. Saat mendapat siksaan batin dan fisik, Firdaus memilih kembali ke rumah pamannya—namun penolakan yang membuat Firdaus harus terlunta-lunta hidup di jalanan dan harus terjebak dalam dunia pelacuran. Mengapa saya menggunakan kata "terjebak" ? karena kejadian tersebut bukan pilihan sadarnya, karena Firdaus dijebak dan dimanfaatkan oleh seorang laki-laki yang dipikirnya akan membantu, namun berujung penipuan yang sangat memilukan bagi seorang perempuan.

Mahmoud seorang muslim yang mengabaikan ayat-ayat dan hadis sebagai pegangan dalam beragama Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan kaum perempuan. Di antara sabdanya:

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729)

            Kritik sosial semakin pedas pada halaman-halaman berikutnya. Setelah melewati perjalanan panjang dengan penuh lika-liku kehidupanakhirnya Firdaus membunuh seorang germo. Lalu seseorang mengatakan kepada Firdaus

“Ada harapan kamu dibebaskan jika kamu mengirim surat permohonan kepada Presiden dan minta maaf atas kejahatan yang kau lakukan.”

            Tapi Firdaus menolak dan berkata bahwa dia tidak mau meminta pengampunan atas kejahatannya. Karena apa yang disebut sebagai kejahatan bukanlah kejahatan.

Novel ini sangat kental dengan budaya patriarki, dimana laki-laki menentukan, perempuan di tentukan—hal tersebut yang menyebabkan ketimpangan relasi. Ketimpangan tersebut menjadi asbab maraknya kekerasan pada perempuan. Meski kedudukan antara laki-laki dan perempuan di depan hukum dijamin oleh konstitusi, namun realitas sosialnya sangat berbeda. Pada hal jika kita mengacu pada agama, semua agama mengajarkan cinta kasih, semua agama memuliakan perempuan. Kecuali jika ada satu kaum yang dengan sadar menghina-dinakan seorang perempuan dan merendahkan martabatnya— patut dikatakan bahwa tembok yang merupakan benda mati lebih berharga dari pada dirinya yang bernyawa.

 

Komentar

Postingan Populer