Ruang Kecil Per-Empu-An

Oleh : Dea Elsaid

ilustrasi gambar : Feby Manzila

Dewasa ini, masih banyak kaum yang memandang perempuan sebagai objek—melanggengkan penindasan dan seolah perempuan selalu berada dalam bayang domestikasi. Maraknya berita kekerasan pada perempuan menjadi cerminan bahwa budaya patriarki masih sangat kental dan menempatkan perempuan sebagai “the second sex” atau yang sering disebut warga kelas dua.

Menilik data dari komnasperempuan.go.id bahwa Untuk  kekerasan  di  ranah  rumah  tangga/relasi  personal,  selalu  sama  seperti  tahun-tahun sebelumnya. Kekerasan  terhadap  istri  (KTI)  menempati  peringkat  pertama  6.555  kasus  (59%), disusul  kekerasan  terhadap  anak  perempuan  sebanyak  2.341  kasus  (21%).  Kekerasan  terhadap anak  perempuan  ditahun  ini  meningkat  di  banding  tahun  2018,  mengalahkan  kekerasan  dalam pacaran  1.815  kasus  (16%),  sisanya  adalah  kekerasan  mantan  suami,  kekerasan  mantan  pacar, serta  kekerasan  terhadap  pekerja  rumah  tangga.  Angka  kekerasan  terhadap  anak  perempuan beberapa  tahun  terakhir  selalu  masuk  angka  ketiga  tertinggi,  angka  kekerasan  di  ranah KDRT/relasi personal  memperlihatkan  bahwa  menjadi  anak  perempuan  di  dalam  rumah  bukan  lagi  hal yang aman. Diantara mereka mengalami kekerasan seksual. Kasus inses pada tahun ini mencapai angka  822  kasus  turun  195  kasus  di  banding  tahun 2018 yang  mencapai 1.017kasus.[1]

Catatan tahun 2020 menggambarkan beragam spektrum kekerasan fisik. Tidak sampai disitu kekerasan secara verba juga sedang populer—perempuan lebih mendominasi sebagai korbannya. Dalam buku bertajuk Responsibility and Evidence in Oral Discourse (1993), Judith Irvine memaparkan bahwa kekerasan verbal dapat dikaitkan dengan prinsip berperilaku yang ada di suatu masyarakat, sehingga turut jadi perhatian antropolog dan sosiolog. Suatu tindakan dapat dikatakan kekerasan verbal ketika si pembicara menunjukkan suatu penghinaan lewat tuduhan dan pemberian predikat tertentu kepada orang lain.

Diskursus tentang perempuan memang tak ada titik habisnya. Seperti halnya hidup di Indonesia dengan stereotype yang timbul pada sebagian kepala manusia dangkal bahwa seorang perempuan berstatus (single parent) selalu berada pada posisi negatif. Seolah limpahan mengapa divorce bisa terjadi—asbabnya karena perempuan. Akan sangat mudah kita menemukan kalimat katanya humor” yang menempatkan perempuan single parent sebagai bahan candaan yang tidak melibatkan pikiran tentang apa yang pernah dialami oleh perempuan tersebut.

Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa budaya patriarki memberi kesan negatif kepada janda daripada duda. Kaum janda seringkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, tidak berdaya dan membutuhkan belas kasih, sehingga dalam kondisi sosial budaya seringkali terjadi ketidakadilan dan diskriminasi, termasuk pada stigma. Perempuan menjadi objek yang disalahkan atas terjadinya sebuah perceraian. Beberapa persepsi muncul pada kasus perceraian, bahwa kesalahan terdapat pada perempuan yang tidak mau bersabar sedikit menjaga keutuhan rumah tangganya. Padahal persoalan perceraian tidak lepas dari kedua belah pihak. Bukan hal yang asing lagi apabila terdapat celotehan, seperti “pantas ia diceraikan oleh suaminya, ia terlalu cerewet” atau “Oh ia cerai dengan suaminya. Pantas itu terjadi karena suaminya sudah tidak tahan dengan istrinya yang sangat pendiam”. Padahal menyandang status sebagai seorang janda bukan perkara mudah bagi seorang perempuan, sebab status tersebut memunculkan trauma yang berkepanjangan, bahkan banyak perempuan disalahkan atas kondisi yang demikian.[2]

                Kejadian tersebut menjadi hal yang biasa dikalangan masyarakat yang secara langsung tidak mengalaminya, atau mungkin tidak pernah berpikir kejadian itu akan menimpa diri atau orang terdekatnya. Seolah sisi sensitifitas sebagai sesama manusia dikesampingkan—sementara yang mengalami sebagian memilih diam dan memilih meratapi diri. Problem lain adalah ketika menyandang status janda akan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi perempuan yang memiliki pasangan, karena dianggap memiliki potensi untuk merebut atau menggoda pasangan orang.  Kita mungkin lebih akrab mendengar kata “Pelakor” dari pada “Pebinor” kan? xiixixixi tapi apapun itu, jika kita menemukan  satu fakta demikian,  kita tidak boleh menyamakan dengan sepuluh orang lain yang berbeda. Sebagaimana sabda Pramoedya “Kita harus adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”

Mengapa perempuan lebih mendominasi?  karena budaya masyarakat yang menempatkan seorang lelaki pada hierarki teratas  yang berimbas pada skema kebijakan sosial, hingga persoalan peluang kerja dan upah yang tidak setara. Belenggu-belenggu patriarki benar-benar menimbul menyalahi aturan dalam beragama. Sebagaimana sebuah prinsip egalitarian dalam Al-Qur’an tentang persamaan sesama manusia. 

“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.  Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.” QS. al-Hujurat: 13   

Dalam dimensi spiritual hingga aktivitas sosial semua jenis manusia itu sama—tak ada yang termarginalkan, yang membedakan hanyalah kualitas ketakwaan kepada Tuhan. Banyak yang berdalih atas nama agama. Ya, lebih tepatnya menjadikan agama sebagai biang kerok padahal justeru agama hadir untuk memberantas penindasan. Ayat diatas juga mempertegas bahwa  agama hadir untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi atau penindasan, termasuk  diskriminasi etnis, warna kulit, kondisi fisik, seksual, dan ikatan-ikatan primordial lainnya.

Secara umum memang antara lelaki dan perempuan terdapat perbedaan tapi bukanlah pembedaan (discrimination) yang  menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya.  Jika terdapat suatu hasil penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan,  sekali lagi! jangan sebut itu sebagai ajaran dari sebuah agama.

Berdasarkan fitrah, semua manusia ingin hidup layak. Meski berbeda agama, suku atau warna kulit semua akan sama jika berbicara tentang kemanusiaan.  Semoga kita semakin saling menghargai, memanusiakan diri dan memanusiakan manusia lainnya. Tersentil sedikit dengan kalimat Leo Tolstoy “Arti sejati kehidupan adalah mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan.”



[2] AI Sakina - Share: Social Work Journal, 2017 - jurnal.unpad.ac.id dilansir 20 Juni 2020 jam 22:14

Komentar

Postingan Populer