Cerpen, Psikopat - Dea Audia elsaid

6 Desember 1998, Seantero negeri telah gempar karena berita tentang lenyapnya puluhan warga desa secara tiba-tiba dalam waktu dua pekan. Desa Liurang adalah tempat kejadian perkara. Telah banyak laporan masyarakat desa ke polres setempat, mengingat polsek kecamatan tak mampu berbuat banyak. Tanpa bukti, tanpa saksi, apalagi terlapor menjadi hal yang begitu sulit untuk mengungkap fenomena menggemparkan tersebut. Pada 2 Desember 1998, seorang jurnalis media cetak berhasil melansir seputar kondisi terkini desa berdarah tersebut. Namun, pemberitaannya belum mendapat titik terang seputar pelaku dan modusnya. Tapi, setidaknya dalam dua hari terakhir sudah ada barang yang dapat dijadikan bukti untuk menelusuri fakta sebenarnya. 8 Desember pada tahun yang sama, masyarakat desa setempat mendapat ransel parasut di sekitar semak belukar yang tidak jauh dari rumah informan yang di dalamnya berisi pakaian, tempat kamera, dan sebuah buku catatan harian. Dari barang itu, hanya buku catatan harian yang menjadi kunci terungkapnya pelaku pembunuhan. Berikut ini adalah catatan harian jurnalis saat melakukan investigasinya: “Sejam lagi Aku akan melewati jembatan gantung untuk masuk pada sebuah Desa. Derap langkahku seperti disusuri oleh suara langkah lain dibelakang. Sesekali Aku menengok kebelakang untuk memastikan tak ada yang mengintai perjalananku. Namun, Aku masih penasaran seperti ada yang mengikutiku. Sejenak Aku duduk di warung kecil untuk sedikit melepas lelah. Sepertinya langit malam mulai menampakkan kegelapannya. Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalananku. Ditengah perjalanan kulihati pemandangan sekitar yang tak terlihat keindahannya. Aku seperti saja berjalan menuju desa mati tak berpenghuni. Tiba-tiba ada yang aneh dari arah belakang. Kembali lagi seperti ada yang mengintaiku. Aku kembali berjalan dengan langkah yang lebih kupercepat hingga pada akhirnya Aku memutuskan untuk bersembunyi dibalik pohon pisang. Jika benar ada yang mengikutiku kupastikan ia tidak dapat melihatku sebab jalanan ini tak ada lampu penerangannya. Kecuali ia makhluk halus, ia pasti menemukanku. Jalan menuju Desa Liurang memang harus ditempuh dengan berjalan kaki, sebab jalanan tak mampu dilewati oleh kendaraan beroda. Dari persembunyianku sesekali Aku mengintip, tak ada tanda-tanda pejalan kaki yang lewat atau mungkin akan lewat. Namun beberapa menit setelah kufikir hal tersebut, hujan turun seketika sangat deras. Tubuhku masih bersandartepat pada batang pohon itu, bersembunyi dalam pengintaian sekaligus berlindung dari derasnya hujan. Tiba-tiba seorang lelaki berjubah hitam berjalan tergopoh-gopoh membawa karungan besar, meski tak terlalu jelas apa yang ia pegang di tangan kirinya, kupastikan bahwa benda tersebut serupa belati yang sangat tak lazim dibawa oleh orang desa. Lelaki tersebut seperti mencari sesuatu. Ia melaluiku yang sementara bersembunyi. Jika memang sejak tadi ia mengikutiku berarti akulah yang dicarinya. “Apa yang dicari lelaki ini yah? Mungkin saja dialah orangnya? Orang yang sudah menghilangkan banyak nyawa di desa ini. Pokoknya, Aku harus berhati-hati”. Tandasku dalam hati karena firasat yang menuntun pada kecurigaan terhadapnya sebagaipengidap psikopat. Terlebih ciri fisiologis dan gerak-geriknya sepintaslalu tak jauh beda dengan ciri para psikopat umumnya. Ya psikopat memang lebih menakutkan dari pada Pocong dan kawan-kawannya. Psikopat secara harfiah disebut sakit jiwa. Psikopat adalah orang yang memanifestasikan perilaku amoral dan antisosial, kurang mampu untuk mencintai atau menjalin hubungan pribadi yang bermakna, ego yang ekstrem, dan gagal untuk belajar dari pengalaman. Aku tak mengurungkan niatku untuk melanjutkan perjalanan, sekalipun hujan begitu deras. “Pokoknya Aku harus mendapatkan berita tersebut, meski tak satupun jurnalis berani menginvestigasi bahkan memberitakan kejadian yang seolah didiamkan selama sebulan terakhir ini”. Kulanjutkan perjalanan yang hingga akhirnya Aku akan melewati jembatan gantung untuk sampai ke tujuan. Kali ini, justru Aku yang mengintai perjalanan laki-laki misterius tadi. Cukup jauh perjalanan yang kutempuh hingga akhirnya Aku kehilangan jejaknya. “Sial… kemana Arah lelaki itu”, Aku membalikkan kepalaku dari kiri ke kanan, hingga belakang dan kembali kedepan. Sekali lagi Aku melakukan hal yang sama. “Binggoooooooooooo… ampun Tuhan”, tiba-tiba tubuhku gemetar entah karena kedinginan atau kelaparan atau mungkin karena wajahku yang berbalik kanan dan berhadapan wajah dengan lelaki misterius yang kuintai sejak tadi. “Cari siapa pak?” Tanyanya. “Saya cari ehhh, cari itu? Cari rumahnya Pak Udin” jawabku gagap. “Oh Pak Udin, rumahnya ada disana. Mau saya antarkan?” ajaknya ramah. “Oh,tidak usah Pak. Terimakasih. Nanti saya cari sendiri. Takutnya merepotkan” “Ah tidak apa. Kebetulan saya juga mau ketemu Pak Udin. Jadi gak apa-apa kalau saya antar. Kan tidak baik kalau tersesat malam-malam. Kamu tahukan tentang cerita di desa ini?” Tanpa banyak cerita lagi, Aku mengalihkan pembicaraannya. Sesaat memperhatikan mimik dan gelagat ngomongnya, kecurigaanku pun seolah dengan cepat berubah menuju keyakinan bahwa benar dialah pelakunya.Modalku Sebagai mantan mahasiswa Psikologi selama empat semester sebelum pindah ke Sekolah Tinggi Jurnalistik cukup menjadi pijakan keyakinan. “Jago juga psikopat ini, pura-pura baik agar menutupi keangkerannya. Ih, ngeri!” gerutuku dalam hati. “Apa benar kamu mau kerumah Pak Udin?” “Iya Aku memang ingin kerumahnya. Memangnya ada apa? Tanyaku curiga. “Tumben ada yang ingin kerumahnya. Sejak kejadian berdarah di desa ini orang-orang banyak menjauhinya.” “Hah?Serius Pak? Tanyaku. “Iya, sudah banyak warga yang melihat tingkah anehnya. Anehnya lagi orang-orang yang ingin menghakiminya pasti akan hilang beberapa jam kemudian. Dan yang kembali hanya tulang-belulang. Memang sih, Warga pernah melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian tapi kami tidak memiliki bukti apa-apa untuk menggugatnya. Katanya ia juga memiliki ilmu gaib”. Mendengar ungkapan orang ini, serasa jantungku berdebar kencang lebih kencang seperti getar yang sedang berperang “Ah, Aku yakin laki-laki ini sengaja membuat desas-desus tentang Pak Udin agar Aku ketakutan dan mempercayai kata-katanya. Lalu segampang itu ia akan membawaku pulang kerumahnya dan menjadikanku santapan. Bagaimanapun, aku masih lebih percaya dengan perkataan diriku ketimbang orang satu ini. Seorang peneliti pernah berkata bagaimana psikopat membuat wawancara menjadi menarik karena kecerdikan dan sifat manipulatifnya yang alami”. “Tapi mengapa orang ini memiliki rasa seperti itu yah? Membunuh tanpa ampun. Tidakkah ia mengingat keluarganya” Aku langsung teringat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan Universitas Chicago di Amerika Serikat yang menjadi bahan presentase kuliah umum di Fakultas Psikologi dulu, mereka mengungkap penyebab seseorang menjadi psikopat. Perilaku kejam dan tak berperasaan pada psikopat ternyata dipicu gangguan komunikasi saraf pada otak. Gangguan khususnya terjadi pada bagian otak yang berperan memunculkan rasa kasih sayang dan kepedulian”. Tak terasa beberapa rumah telah terlewati, dan akhirnya Aku sampai didepan rumah Pak Udin, tentunya bersama bapak misterius yang tak ingin kutahu namanya. Rumah Pak Udin memang terlihat sepi, rumah yang berdinding kayu dan terlihat sangat terawat. Di hadapan rumahnya banyak tumbuh tanaman yang sangat hijau. Pekarangannya memang cukup luas untuk ditanami banyak tumbuhan. Yang menarik bagiku bunga lavender yang tumbuh rapi seolah menjadi dinding lorong halaman yang menjulur hingga di hadapan teras rumah, ada juga anggrek hutan yang dilekatkan pada sela batang pohon jambu, dan tulip dengan mekar bunga dan bau khasnya yang menggoda dari pojok halaman.Meski rumah ini terlihat sepi namun rumah ini lebih terang dan segar terlihat dari semua rumah yang kulewati. Sejak tadi perjalanan menuju desa ini tak ada keindahan sedikitpun. Bukan karena kegelapan lalu keindahannya tak terlihat namun desa ini memang dikenal kurang terawat dan tidak mendapat perhatian oleh yang seharusnya memerhatikan. Sepertinya Pak Udin memang menyenangi tumbuh-tumbuhan atau mungkin ini tanamanam milik istrinya. Ternyata tidak hanya di halaman depan, di samping juga terlihat ada bunga bougenville yang indah dengan fungsi sebagai filter debu. Adapula zodia dan geranium tanaman hias yang bisa berfungsi sebagai hiasan sekaligus penolak nyamuk. Bukan hanya itu, adapula pohon mangga yang menjulang nampak di bawah bayang purnama. Aku membayangkan betapa sejuknya ketika sore hari, sebab Pohon mangga dikenal mampu menciptakan iklim mikro, sehingga angin yang masuk ke pekarangan dan ke dalam rumah akan lebih sejuk karena telah mendapat bulir-bulir uap air. Namun ada satu bunga yang sepertinya gampang ditemui di desa ini yaitu bunga krisan. Kebetulan desa ini memliki tanah yang ideal untuk tanaman krisan karena tanaman tersebut membutuhkan tanah yang bertekstur liat berpasir, subur, gembur & drainasenya baik, tidak mengandung hama & penyakit. Melihat bunga tersebut Aku ingat pernah membaca sekilas tentang kegunaan tanaman bunga krisan yang utama adalah sebagai tanaman hias dan bunga hias tentunya. Namun ada manfaat lain dari tanaman bunga ini yaitu sebagai obat tradisional dan bisa juga untuk penghasil racun serangga (mengusir serangga). Inilah kebiasaanku yang diwariskan ibu, menjalangkan mata kiri kanan di tiap halaman rumah yang baru dikunjungi, walau sekadar mengamati bunga dan tumbuhan lainnya yang ditanam tuan rumah. Kata ibuku, keelokan panorama halaman rumah adalah cermin dari kepedulian hati tuan rumah yang begitu ramah. Melihat tampakan rumah dan halmannya, sungguh tak ada tanda yang menengarai bahwa penghuni rumah adalah pengidap psikopat. Pertimbanganku untuk tidak percaya pada lelaki misterius tadi sudah benar, sebab Arsil yang merekomendasikanku agar kerumah Pak Udin untuk mendapatkan berita desa berdarah ini nyatanya pulang dengan selamat. Aku percaya dengan Arsil, aku mengenalnya sudah hampir tigatahun, sejak ia melamar kerja dan diterima di perusahaan media tempatku bekerja kini. Meskipun Arsil menganggapku saingannya namun kuyakin kalau persoalan seperti ini ia tidak akan main-main. Apalagi berkonspirasi untuk membunuhku. Setelah lelaki misterius itu pamit dan menyuruhku berhati-hati, Aku melangkahkan kakiku untuk masuk kehalaman rumah Pak Udin. Mungkin lelaki misterius itu tidak akan menggangguku, sebab sudah kukatakan kebohongan bahwa Pak Udin adalah keluargaku, yang kukatakan jelas bahwa saudara Ayahku. Perlahan tubuhnya kulihat menjauh dan tertutupi oleh kegelapan malam yang tak ada lampu jalan untuk penerang. Kecuali rumah-rumah warga yang memiliki lampu. Entah siapa yang bertanggung jawab atas hal ini, desa yang infrastrukturnya tidak memadai. Sungguh miris ditambah lagi dengan kejadian berdarah yang begitu sadis. Mungkin yang bertanggungjawab atas keadaan ini sudah buta atau telah dibutakan. Mana mungkin sudah puluhan korban tewas lalu tak ada yang menyikapinya, wargapun ikut lemah karena desas-desus mengenai kekuatan gaib yang digunakan pelaku. Ahh.. entahlah Aku sedikit pusing memikirkan sesuatu yang benar-benar gila ini. Tubuhku kini berada tepat dihadapan pintu rumah Pak Udin. Kuketuk pintu rumahnya namun tak ada jawaban, sesekali Aku mengeluarkan suara. “Haloooo…permisi” tak ada suara selain gemericik hujan yang terdengar dari atap. kuulangi lagi “Permisi....Selamat malam...”, tetap saja tak ada yang menyahut. Aku pun memutuskan untuk menengok kesamping. Kulihat ada satu pintu lagi disamping belakang rumah Pak Udin. Lewat pekarangan samping yang dipenuhi tanaman hias, kuberanikan untuk masuk dari pintu belakang. Pintunya terbuka seperdua, kaki kiriku duluan melangkah masuk tanpa permisi. Menyusul kaki kananku. Aku telah masuk dan melanjutkan langkahku, hanya beberapa langkah, seketika gelegar halilintar membuatku terenyak lalu dengan spontan kumenutup mata dan telinga. Saat keadaan kembali dalam sunyinya, mata dan telingaku pun kembali terbuka. Namun, mataku yang barusaja terbuka seketika membelalak terkejut kaget tak terkira. Ada tampakan yang tidak pada galibnya kusaksikan. Lantai yang berlumur darah, juga tembok yang terkena bercaknya, beberapa potongan organ yang telah menjadi bangkai, dan seorang yang membelakangiku sedang sibuk dengan bangkai yang ia kerjakan. Terlihat tenang, bagai seorang dokter ahli bedah yang mengoperasi pasiennya. Syahdan, Aku menahan langkahku dengan jarak tiga meter dari orang itu. Kugeledah ranselku, kamera kutemukan, kuaktifkan, lalu tampakan tersebut kuabadikan dalam gambar. Tanpa ragu meski sebenarnya takut, berulang-ulang kupotret apa yang ada dihadapanku. Beberapa gambar telah kudapat, namun, ada yang sangat aneh. Gambar di kamera tak sama dengan tampakan aslinya. Didalam gambar tak terlihat apa yang kusaksikan kasat mata. Aku mulai merasa takut setakut-takutnya. Dalam dinginnya malam, keringat keningku mulai keluar. Kamera yang masih tergenggam ikut bergetar bersama lutut dan tanganku. Aku tak sanggup menghadapi keanehan malam ini, akhirnya aku putuskan untuk pergi. Kupercepat kepergianku dengan berlari, namun dibelakangku tiba-tiba sosok yang nampak dalam rumah tadi mengikut dengan santai. Rupanya orang yang berjubah hitam tadi adalah Pak Udin bukan lelaki misterius sebagaimana kumaksud. Tidak mungkin, Aku tidak menyangka bahwa benar Pak Udinlah orangnya. Semakin kupercepat lariku sambil sesekali menoleh ke belakang. Ternyata, dia tidak lagi mengikutiku. Aku penasaran ingin menyaksikannya dari jauh, dengan nafas yang terengah kuhentikan pelarianku lalu mencari persembunyian yang aman. Semak belukar yang di antaranya tumbuh pohon beringintua adalah tempat yang kupilih untuk sembunyi dan mengintai. Hanya radius tiga puluh meter dari pekarangan rumah Pak Udin, tempat yang begitu dekat dan penuh risiko telah kupilih. Mau apalagi hanya ini tempat satu-satunya untuk mendapat berita akurat tentang desa berdarah ini. Rasa takutku pun telah kuhabiskan semuanya, tanpa sisa. Hanya tuntutan kerja dan keyakinan profesionalismelah yang buatku berani. Kuperjelas pengamatanku padanya,akhirnya kulihat ia menguliti sebuah mayat yang baru saja dilentangnya di bawah pohon mangga samping. Ah, ngeri... kapak besar yang dipajangnya di teras depan rumah ternyata alat pemotong organ-organ yang tergolong keras karena tulang. Aku bahkan sempat berfikir bahwa di bawah tanaman suburpekarangannya pasti terdapat mayat yang terkubur. Tanpa ampun dengan posisi jongkok ia lalu memotong bagian-bagian dari mayat tersebut. Sulit kupahami dan kupercaya bahwa hal tersebut terjadi didepan mataku. Lalu apa yang akan terjadi padaku? Apakah Aku akan membawa pulang berita ini, atau mungkin Aku yang akan dibawa pulang oleh berita ini? Desa Liurang, Simbulang Utara, 4 Desember 1998

Komentar

Postingan Populer