“ROMANTIKA ZASKIA” - Dea Audia elsaid

# perawalan adalah keindahan lalu setelahnya menjadi teka-teki. Cinta tak selamanya indah, namun cinta yang sebenarnya adalah sebuah keindahan.Cinta bukan pemenjara jiwa dalam keterkungkungan, atau mungkin kurungan rasa yang selalu terpasung. Sekali lagi, cinta bukanlah kedustaan yang didalamnya terdapat aneka ragam pengkhianatan, keegoisan, dan perampasan kemerdekaan! Kisah seorang wanita yang selalu mencintai, namun tak pernah paham tentang arti cinta yang sesungguhnya, sebab cintanya hanya berbalas dusta. Pagi yang begitu menyilaukan, kembali membawa ingatan pada detik-detik perjalanan sore menuju malam kemarin. Sungguh, ingatan itu membuatku tersenyum dikala kembali mengenangnya. Ada yang lain saat kata itu diungkapkan oleh Dony; ”Maukah kau menjadi kekasihku.?”. Sontak kalimat itu membuatku tersipu malu. Aku sengaja tidak menjawabnya kecuali setelah tiga kali ia mengulang ucapannya. Kemarin adalah hari yang begitu indah. bersamanya kusambut malam dengan janji-janji untuk saling bersatu hingga nanti. Setelahnya, hingga pagi ini masih terasa hangat janji yang amat manis itu. Hari berlalu, sekadar berganti untuk mencetak kenangan-kenangan berbalas senyum. Hingga pada akhirnya, kebahagiaan yang terlalu memuncak itu perlahan membungkuk memilukan. Saat aku memperkenalkannya dengan orang-orang terdekatku dan mengajaknya bersenandung ria bersama mereka. Tujuh bulan kami lalui tanpa terpaan angin yang menggoyahkan, namun kebohongan adalah kepalsuan yang sulit disembunyikan.Sepandai-pandai apapun itu, seburuk-buruk apapun itu dan sebaik-baik apapun itu.Rupanya sejak sebulan lalu Dony memulai permainan itu, mendekati sahabatku Dinda, merebut hatinya lalu membuatnya tega mengkhianati persahabatan kami. Persahabatan yang lebih terdahulu dibanding pertemuanku dengannya dan pertemuan mereka. Penjelasan serta alasan-alasan yang sulit untuk kuterima, membawaku menuju pada keputusan akhir bahwa pertemuan kita tercipta tidak untuk dipertahankan. Kini banyak alasan untuk membawa luka itu menuju kedamaian. Meski terluka tapi tak ingin larut dalam keperihan ini. Aku tak ingin menjembatani hubungan mereka sebagai jalan penghancur persahabatanku. Dinda yang merasa bersalah telah dibutakan oleh kepalsuan, fikirku tak lagi sama. Kubiarkan Dinda dan Dony melanjutkan hubungannya. Tak ada persoalan, meski dalam sejarah hidup mereka tercatat bahwa hubungan mereka terbangun dari hati lain yang berdarah pilu. Persahabatan yang begitu indah, serta awal cinta yang begitu membahagiakan. Terkadang kita mesti mengalah untuk kebahagiaan orang lain, tak perlu menuntut, tak perlu menyalahkan. keinginan sepasang kekasih yang menyatu walau telah mengkhianati kekasih sebelumnya atau juga mengkhianati sahabat kecilnya. Mungkin itulah yang disebut cinta.? Tanpa menghiraukan hati orang lain yang memiliki alasan untuk terluka. “Mereka mengatas namakan cinta untuk mendustai kenyataan”. Kulalui hari-hariku, masih berteman akrab dengan Dinda, mendengar Curhatan tentang kebahagiaannya bersama Dony. Yaaaaaaa… kisahnya sungguh indah ia perdengarkan, fikirku alur kisahnya tak ada bedanya saat Dony masih denganku.Dalam hati Aku sedikit tertawa tergelitik tapi tak ingin lagi mengingatnya atau memulangkan cerita-cerita yang mestinya telah tertanam. #Pertemuan menjadi sebab kemungkinan Ada yang terdengar pada mulut yang terdiam, khayalan itu seolah membawaku melayang terbang tinggi menuju nirwana.Beberapa minggu lalu, namaku tercatat sebagai peserta lomba Olimpiade Sains Matematika yang mewakili sekolah. Setelah melalui berbagai tahap hingga akhirnya sampai pada pengumuman lomba pagi tadi, terbersit kabar bahwa siswa dengan nama Zaskia Novela dinyatakan sebagai pemenang pada lomba olimpiade tahunan yang digelar dikotaku. Tentunya ini adalah kebahagiaan yang akan membuat Ayah dan Ibu bangga padaku.Sebagai ucapan selamat, Ibu dan Ayah mengajak aku bersama Zassil adik bungsuku untuk melancong keliling tempat wisata. Setelah seharian melewati waktu senggang bersama keluarga, tak lengkap rasanya jika sebelum pulang kami tidak bertemu dengan Nenek dirumah paman. Jadi, ayah memutuskan untuk mampir di kediaman paman.Kami sekeluarga merasa kehangatan sempurna dalam kebersahajaan keluarga besar kami. Tidak lama kehangatan itu terasa, seketika terdengar dari ruang tamu sebuah percakapan pembuka yang berlangsung di halaman rumah. Sepertinya Paman kedatangan tamu. Tak kuduga, tamu paman adalah om Alex sekeluarga. Kami menyambutnya dengan ramah. Aku menyalami om Alex yang sudah lama tak kujumpai, menyusul istrinya yang sepintas lalu masih terlihat awet muda olehku. Setelah keduanya ku salami, aku mengulurkan tangan pada lelaki usia remaja yang berdiri di samping om Alex. Lelaki itu sontak membuatku kaget ketika ku perjelas belalakan mataku pada parasnya yang tak asing lagi di kepalaku. Tak salah lagi dia memang Rio. Mata yang saling memandang seolah membawaku pada ingatan tiga tahun yang lalu, masa SMP yang cukup banyak menyimpan kenangan. Dihadapannya, Aku kembali bertemu dan bergenggaman dengannya. Kami pernah saling menyukai, membahasakannya dengan Cinta Monyet. Namun, setelah kepindahan Rio dari sekolah sekaligus dari kota ini membuatku tak pernah mendengar lagi wartanya. Aku tak menyangka Ternyata om Alex sahabat karib paman adalah ayah Rio. Ditengah perbincangan, Zassil menarik lenganku lalu mengarahkanku menuju pantai yang tak jauh dari rumah paman. Sepertinya ia ingin menikmati suasana senja yang selalu kami saksikan ditempat ini. Pesisir pantai bernuansa elok yang tepat di belakang rumah paman. Pantai yang setia menghadapkan pengunjungnya pada mentari terbenam kala senja tiba, dan sinar purnama kala malam menggulita. Sebelum kepulangan senja, dibawah langit jingga dan di tepi bibir pantai aku duduk membayangkan sesuatu yang tak jelas. Kemuning pancarannya memberi rona ganda pada kulit putihku, sekaligus nuansa yang membawaku menuju lamunan masa lalu. Namun, terpaan angin darat menyadarkanku, yah aku membayangkan tentang pertemuanku tadi dengan Rio. Sulit kutafsirkan. Saat diruang tamu, kala kami duduk mendengar percakapan orang tua, sesekali kami saling mencuri pandang di sela pertemuan. Satu sama lain menatap dengan waspada namun bahagia dan berharap mata hitam kami tidak bertabrak tatapan. Tanpa sepatah katapun. Ada motif apa di balik kekikukan perangai kami, tanya benakku. “Zaskia…”, tegurnya. “Hai..” balasku. Rasanya jantungku memompa lebih kencang dari biasanya, Rio datang dan mengambil posisi bersebelahan denganku. Kami pun bersebelahan dan bersama memandangi pesona senja di pantai. rupanya sedikitpun Rio tak melupakan cerita-cerita lalu. Awal perjumpaan pertama yang sangat kaku melebur dan seketika semuanya telah terungkapkan lewat canda dan tawa. “Pertemuan yang tak pernah terencana menyimpan segudang makna dan akan terjawab pada segala kemungkinan yang timbul tenggelam di hadapan” #Keadaan yang memulangkan kesadaran Perjumpaan yang mengulang kisah terdahulu membangun kembali keakrabanku bersama dengannya.Setelah beberapa bulan perjumpaan itu membuatku merasa nyaman berkomunikasi dengan Rio.Meskipun dengan hubungan yang berjarak. Lewat perantara telepon genggam aku putuskan untuk menerima Rio sebagai sahabat sekaligus pasangan berbagi kasih dan sayang. Ya, sebagai kekasih lebih tepatnya. Cukup sulit menjalani hubungan yang berjarak, harus pandai mematahkan kekhawatiran atas segala kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Aku mengalahkan egoku, menghilangkan segala kecurigaan manusiawiku, dan menyerahkan seluruh kepercayaanku pada kejujuran sikapnya. Besok Rio akan datang menemuiku. Pertemuan perdana bagi kami setelah menjalin hubungan sepasang kekasih. Dia berjanji akan sama-sama merayakan empat bulan setelah hari jadian kami.Tentunya itu sangat membahagiakan untukku. Malam ini aku menyiapkan segalanya, menyiapkan pakaian terbaik sekaligus menyusun agenda pertemuaan indah yang akan berlangsung esok malamnya. Semalam tadi, aku sungguh lupa bagaimana cara untuk tertidur nyenyak. Malam yang menyadarkanku bahwa waktu itu sangat relatif. Sangat terasa lama beranjak menuju waktu yang kunantikan. Hingga akhirnya pagi ini dengan bahagia aku menyambut pagi yang mendung, yang kemendungannya tak mengurangi kecerahan dalam batinku. Aku beranjak dari tempat tidur berniat untuk mandi. Setelahnya Ibu memanggilku sarapan, dengan setangkup kue bolu rempah dan segelas susu sebagai penyambung semangatku pagi ini. Hari ini tidak ada kegiatan apapun, hari libur yang sepertinya akan membahagiakan. Sambil menunggu pesan singkat dari Rio, aku mengisi waktu penantian dengan menyemai butiran pakan di kolam ikan lele milik ayah. Dari belakang, Dinda masuk dan seketika memelukku. Matanya nampak sembab dan berkaca-kaca. Tanpa basa-basi ia langsung menceritakan kisah kasihnya bersama Dony. Tak seperti yang kubayangkan, Dony yang berwujud manusia tega melukai Dinda. Lagi-lagi Dony berselingkuh dengan perempuan lain. “Aku tidak peduli atas rasa sakitku dan aku tidak peduli atas kelakuan Dony, namun yang aku sesali adalah tindakanku yang juga terjebak pada kepalsuan yang dibuatnya lalu kemudian dengan tega kami melukaimu, wahai sahabat” gerutuh Dinda dengan nada menyesali. “Tak ada yang perlu disesali, semua kisah mengandung hikmah.Dengan Kau merasa pernah melukaiku dengan itu pula kau akan lebih paham bahwa Persahabatan sangatlah berarti…” jawabku. “tapi Aku terlalu bodoh untuk itu, maafkan Aku, kumohon. Aku sudah merasakan perihnya dan kuyakin keperihan itu lebih dari keperihan yang pernah kau Rasa.. Maafkan Aku, Zaskia..” Isak Dinda memecah Ruangan, menjadikan air mata sebagai peringatan tentang kesalahan. Keadaan inilah yang membuat kami berdua semakin dekat. Persahabatan yang sempat renggang akhirnya kembali erat dengan kesadaraan bersama sebagai korban tipu muslihat dari Dony. Lelaki durjana pemodal dusta. “Persahabatan akan lebih terasa indah jika kita saling menyadari.terkadang kebencian,cacian akan menjadi pemulang keakraban” # pertemuan yang memilukan Malam yang kunantikan pun tiba, meski sebelumnya pedalamanku agak risau melihat jarum jam yang berdetak seolah tertatih-tatih.Pertemuanku bersama Rio mengajak hati semakin damai. Setelah saharian Rupanya sedari tadi ia menungguku di taman. Namun sepertinya dia baik-baik saja sebab dia menyambutku dengan senyuman. “Kau terlihat lebih anggun mengenakan baju itu” ujar Rio memulai percakapan kami. “Ah,biasa saja”jawabku dengan pipi merah merona petanda batin yang tersipu malu. Banyak cerita yang menjadi pelepas kekhawatiran. Hingga Pada Akhir pertemuan tak habis-habisnya ia menatapku tajam, entah itu karena kerinduan atau mungkin ada kalimat yang tertahan di bibirnya. Setelah berdiam-berdiam beberapa menit, Aku ingin berbicara namun Rio terlebih dahulu mendahuluiku. “Aku tahu sejak awal kau menyimpan banyak kekhawatiran denganku sebab jarak memang menjadi penghalang atas hubungan kita. Tapi ada hal yang penting yang ingin kusampaikan padamu..” “Apa itu.?” Tanyaku dengan rasa girang berharap Rio akan pindah tinggal dan melanjutkan studi di kotaku. Rio pun memberi isyarat yang membuat harapanku tidak beku, ia tetap terlihat dingin, sesekali tersenyum pada lampu-lampu dan warna-warni bunga taman yang secara bergantian dipandanginya. Nampak ia sepintas tersenyum, namun kembali murung. Sekali lagi dia tersenyum menatapku, sesekali menggeleng seraya mengeluarkan bunyi akibat tekanan lidah pada bagian belakang gigi depan. Sebuah tanda kecemasan mulai terdengar. Setelah tujuh menit berlangsung, seketika sebuah kalimat terlontar dengan tegas dari bibir Rio: “Aku tak mampu melanjutkan hubungan ini,aku tak ingin terlalu menyiksamu.” “Tersiksa?Aku tak pernah merasa tersiksa. Mengapa tiba-tiba kau katakan itu? Ada apa? Katakan sejujurnya...” tanyaku seolah tak percaya karena menganggapnya bercanda” “Maafkan, Apapun itu aku tak lagi bisa bersamamu” “Ah, jangan bercanda.. Aku tahu ini tanggal jadian kita, sebaiknya tak usah membuat kejutan humoris seperti itu..Hahaha” Akupun menanggapinya dengan tawa. “Sungguh,ini bukan lelucon atau apapun itu. Aku sengaja mengajakmu bertemu hari ini untuk mengatakan bahwa hubungan kita memang tidak bisa dilanjutkan lagi.” “Ah, Rio jangan ngomong itu lagi, hentikan cericaumu...” “tidak Zaskia, itu sungguh yang ku katakan” “Apa?” “ya! Aku tidak bisa lagi melanjutkannya” “Lalu, untuk apa kita bertemu dan merayakan empat bulan hubungan kita?” Rio merunduk lalu diam. Aku tetap pada posisiku yang pangling atar persimpangan harapan lelucon dan rasa takut bila ungkapan itu sungguhan. Pangling antar air muka yang siap senyum sumbringah atau sendu memendam pilu. Namun, Rio kembali mengangkat mukanya dan berkata: “Sudahlah, sebaiknya kamu harus menerima keputusanku.” Akhirnya hatiku tercabik berdarah mendengar pengakuan itu. Aku tak menyangka dia tega meninggalkanku dengan alasan sebuah jarak. “Rio segampang itukah kau mengakhirinya dan mengalasankan aku sebagai penyebabnya. Kufikir kau tak seperti itu. Kau jahat…”Aku berlari menjauh dari pandangannya, tak berniat untuk menoleh sedikitpun. “Zaskiaaaaa………” teriaknya. Malam ini setelah berjumpa dengannya di taman yang bunganya telah layu tak terjamah membuatku semakin sulit untuk menerka. Semua telah sirna, kebahagiaan yang bersalah hanya menciptakan luka. Kini yang tersisa hanya Air mata. Aku menyeka Air mataku dan mencoba menguatkan hati bahwa Akan ada kebahagiaan setelahnya. “Terkadang Air mata menjadi pelepas rasa sedih yang berkecamuk, namun ketegaran menjadi Alasan untuk tidak larut di dalamnya” # Setiap waktu adalah peristiwa Senja dilangit jingga yang begitu mempesona larut dalam lamunan yang tak berkhayal seolah Membunuh rasa tanpa nurani hingga nyaris tak terasa.Ada kala kedukaan menjelma menjadi kerinduan hingga memopang Rasa namun terabaikan masa. Detik berlari menjemput menit hanya untuk melukis sejarah,lalu hari ini tentang apa lagi? Setiap waktu adalah peristiwa. Meski berbentuk kedukaan kelak akan menjadi kenangan yang mungkin saja akan menjadi kerinduan. Selalu kufikir tentang rasa yang seolah tercipta untuk disalahkan, menjadi terdakwa atas luka-luka yang mematikan jiwa. Haruskah ada cerita memilukan sebelum kebahagiaan itu datang, mungkin semua akan terjawab setelah waktu yang tepat. Namun begitu, Tak pernah kusalahkan atas segala luka yang selalu dicipta untukku. Hari ini adalah hari ulangtahunku yang ke tujuhbelas,banyak doa, pelukan serta keceriaan yang kudapat. Aku masih bersyukur menjadi diriku yang kini, sebab masih banyak cinta yang kuperoleh dari orang-orang terdekatku. Yah, inilah arti bahwa tanpa sosok lelaki special disampingku aku masih bisa merasakan hangat perhatian dari sahabat dan keluarga meskipun kehangatan dari mereka juga hanya sementara. Ulangtahun kali ini, tak ada perayaan yang istimewah sekadar jalan-jalan bersama keluarga. Perjalanan yang hanya terhitung sekali dalam sebulan. Ayah sedari tadi memandangiku, aku tersenyum-senyum dibuatnya. Sambil mengelus kepalaku ia berkata : “kau sudah remaja menjelang dewasa, tapi ayah tak pernah tahu kau dekat dengan seorang pria nak. Padahal kau cantik dan pintar, mana mungkin ada lelaki yang tak tergoda denganmu. Atau mungkin kamu?” “Ah, bukan Ayah yang tidak pernah tahu saya dekat dengan seorang anak lelaki. Tapi memang ayah yang tidak pernah mau tahu dan bertanya tentangku. Ayah lebih suka dengan kesibukan diluar rumah, itupun jalan-jalan atau kumpul keluarga seperti ini hanya sekali dalam sebulan. Setiap ingin bercerita denganmu selalu saja tak ada waktu. Pantas saja!” (Omelku dalam hati) “jelaslah, Zaskia focus belajar dulu. jadi anak yang cerdas, biar bisa mengalahkan Anak tante ria. jadi kamu harus banyak menciptakan prestasi biar Ibu bisa banggain kamu dihadapan teman-teman Ibu. Tidak usah fikir yang maca-macam. Pacaran atau apalah namanya. Pokoknya Ibu tidak mau tahu. Diberita-berita sudah banyak hal-hal negative yang dilakukan remaja zaman sekarang. Jangan sampai kamu terjerumus didalamnya yah?” (sahut ibu) “iya bu” (jawabku datar) “tidak usah membandingkan anak kita dengan yang lain, jelaslah dia lebih baik” (jawab ayah) “memangnya kenapa?gak ada yang salah dengan ucapan ibu. Paling tidak zaskia mengerti bahwa tidak ada yang lebih baik selain belajar yang tekun, bukan keluyuran sana-sini atau apalah”. “iya, tapi setidaknya jangan terlalu memaksakan kehendakmu. Biarlah ia memilih jalannya sendiri. Dia sudah dewasa. Kau cukuplah menuntunnya bukan untuk memaksanya. Itu tak baik”. “eh, memangnya kamu sudah jadi Ayah yang baik?” “tidak sepantasnya kau ucap itu” (gertak ayah) Matahari siang kali ini seolah membakar kulit tubuhku. Bukan karena sinar atau cahayanya melainkan karena percakapan siang ini. Ayah dan ibu hanya bisa berceloteh semaunya, tanpa sedikitpun pernah bertanya tentang perasaan-perasaan yang selalu terluka ini. Sungguh, ibu begitu overprotective terhadapku. Memang semua Ibu selalu inginkan yang terbaik untuk anaknya tapi tidak mesti dengan jalan memaksakan kehendaknya. Ah, aku tak paham. Orangtua memang tak pernah bersalah, dan haram untuk disalahkan. Meskipun waktu pernah bercerita tentang Dinda dan dony, namun semua tetap menjadi cerita yang indah meskipun berakhir memilukan. Sekalipun awalnya sulit untuk menerima kelakuan dinda terhadapku namun sampai hari ini rasa cinta terhadap persahabatan kami masih utuh terasa. Hari-hariku masih kulalui dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama dinda. Dengannya Aku banyak berbagi cerita yang melelahkan meski tempat berpulang lelah adalah keluarga. Dinda tahu tentangku, bukan sekadar tahu tentang luka yang pernah dia berikan untukku. Dinda tahu segala yang berkecamuk dibatinku, seperti aku yang tahu betapa sakitnya dinda kehilangan kedua orangtuanya saat kecelakaan maut menewaskan mereka. Aku tahu persis betapa setiap malamnya ia rindukan kehangatan dari pelukan jemari ibunya, betapa ia butuhkan petuah nasihat dari ayahnya. Aku tahu betapa siksa dan lebih tersiksa batinnya hidup seatap bersama tante yang kerap menyiksanya, menjadikannya helper tanpa gaji dan selalu menjadikan dirinya tersalah meski tak bersalah. Alur hidupnya bagai kisah Ibu tiri. Entahlah, apa yang harus kulakukan untuknya. Hanya telinga dan pundak yang bisa kuberikan. Aku selalu melihat kekuatan dimatanya. Dikala butiran air mata itu tertahan saat menceritakan betapa ia rindu kedua orangtuanya. Yah, dinda.. sahabatku yang kuat. Malam ini Aku mendengar pertengkaran ayah dan ibu, hingga tak tahan rasanya melihat tangisan Zassil. Aku seperti ingin berlari jauh dari tempat ini. Aku sama sekali tak memahami isi kepala dua orang yang membuat zassil menangis. Bukankah dahulu mereka bersatu karena mereka saling mencintai, lalu mengapa yang terlihat saat ini mereka bagai Api dan air. Mereka saling memangsa dengan kata-kata. Ahhh…. Aku benci dengan keadaan yang sering berulang ini. Aku kasihan pada ayah, tapi terlebih pada ibu. Tapi siapa yang bersalah diantara mereka? Lebih baik kupejamkan mataku dan tak ingin larut pada situasi malam ini. Lambat laun suasana mulai tenang, tiba-tiba terdengar ketukan dibalik pintu kamar. Karena Pintu yang tak terkunci Terdengar langkah kaki yang bergontai mulai mendekat kearahku. Sepertinya ibu,ia duduk tepat didekatku, terasa hangat jemarinya membelai lembut rambutku. Sebelum ia berlalu aku sengaja membuka mata dan menarik lengan tangannya. “ibuu?” “kamu belum tidur?” “ada masalah apa lagi dengan Ayah?” (tanyaku lirih) “tidak ada apa-apa, ayah lagi lelah banyak kerjaan jadi sedikit emosian, tidurlah nak. Besok kamu sekolah” “apa karena Ayah lelah jadi harus diselesaikan dengan cara seperti itu? Lalu, untuk apa Ayah bekerja dan pulang membawa lelah yang membuat kalian sering bertengkar” “sudahlah nak” “apa yang perlu disudahi kalau ibu dan ayah tak pernah menyudahi pertengkaran itu, apa kalian tidak melihat tangisan Zassil. Betapa ia tak mengerti dan betapa kalian sematkan luka yang ia tak tahu makna ketakutannya” “kuyakin kau sudah paham apa yang terjadi nak” “Aku paham, karena itu aku tak pernah ikut campur. Tapi pernahkah ayah dan ibu paham, kelak ketika zassil juga ikut paham tentang semua ini betapa cemburunya ia melihat kawannya yang lain memiliki keluarga yang utuh dan tentram”. “sudahlah Nak.. kau tidur saja”. (Ujar ibu menenangkan) Ibu berlalu dihadapanku, menyisahkan banyak Tanya didalam benakku. Apa yang difikirkan oleh orang dewasa itu, baginya pertengkaran adalah jalan penyelesaian. Aku tak paham! Kembali dinda bertanya tentangku, melihat wajah yang kusut menimbulkan Tanya darinya. Tanpa menyembunyikan sedikitpun aku banyak bercerita dengannya. Syukurlah, sedikit banyaknya aku bercerita dengannya membuat batin sedikit tenang. “Eh, kamu ingat tidak dengan andika?” (Tanya dinda melepas cerita curahanku sebelumnya). “siapa? Memangnya kenapa?” “Masa’iya kamu lupa? Andika teman Smp kita dulu” Sambil mengingat-ingat, justru wajah rio yang teringat. “ah, aku lupa. Memang ada apa sih?” “tadi pagi sebelum berangkat kesekolah, aku bertemu dengannya. Eh, lama bercerita ujung-ujungnya dia banyak Tanya tentang kabar kamu.dia nitip salam katanya. Dia minta nomer hp kamu, jadi aku kasih dari pada dikatain pelit” “ah, gak penting!” “pentinglah, dari dulu memang sepertinya dia ada hati deh. Kamu saja yang cuek dan lebih memilih rio.upssss” “mau ada hati, atau mau ada apa kek, intinya laki-laki itu semua sama saja. Sama-sama….” “jelaslah semua sama, kan kalau gak sama bisa dikatain encong” “hahhahaha” (Terdengar tawa kami menyatu). #Satu yang tak menyatu Sepasang sayap cintanya menyatu pada tubuhku. Sekarang baru terasa pedihnya rindu memiliki jarak denganmu. Meski ini hanya sekadar jarak di bumi Tuhan. bahkan Aku takut membayangkan jarak yang lebih dari ini. Semua masih tentangmu. Kasih sayangmu masih memeluk tubuhku ditempat ini, meski hangatnya berupa kenangan. doamu selalu mengiringi jejak pada langkahku. Disetiap sore selalu kusempatkan melihat senja disebelah timur, Karena disana kubisa melihat senyummu. Sejak sebulan lalu, perceraian ibu dan ayah membuat kami terpisah. Aku tinggal bersama ayah, dan zassil ikut dengan ibu. Sungguh, hal ini membuatku rapuh. Jauh dan tak bersatu dengan mereka. Tak ada liburan dan jalan-jalan bersama mereka lagi. Betapapun aku memaksanya untuk mempertahankan pernikahannya namun apalah daya mereka kukuhkan niat untuk tetap berpisah. walau begitu kuyakin ibu tak pernah berpaling kasih dari sayangnya untukku. Aku selalu bertanya dalam diriku tentangmu ibu, tentang ketakutanku pada waktu yang semakin berlalu. Apa air mataku akan menghapus kesalahan,caci dan makiku. Apa sesalku akan mengembalikan air matamu yang pernah tumpah karena ulahku. Terngiang kembali ribuan ingatan tentangmu. Dipertengahan malam kulihat kau duduk pada kegelapan malam,dengan balutan jahitan kain putih yang menutupi tubuh tuamu, samar terlihat tanganmu menengadah penuh keikhlasan,lalu terdengar sedikit isakmu, apa air matamu menetes? Namun mengapa aku membiarkan hal itu tanpa bertanya ada apa denganmu? ,Sekali lagi tanyaku dalam hati, Ada apa denganmu? beban apa yang kau pikul, serumit itukah derita yang kau tumpahkan lewat air matamu. Aku takut,Aku takut kehilanganmu. Aku takut kehilangan pelukan dari lengan-lengan tanganmu. Aku takut tak ada lagi jemarimu mengusap air mataku. Aku takut semua akan jadi kenangan yang tak bisa terulang lagi. Aku ingat saat itu. Saat kau terlelap,tanpa kau sadari aku selalu memandangi wajahmu diam-diam. Kupeluki tubuhmu yang begitu hangat,mengapa sesak dada ini. ingin sekali kukatakan ribuan sayangku padamu. Meski kerap aku membantahmu dan menganggap kau selalu memaksakan kehendakmu padaku, tapi kali ini baru kusadari semua itu untuk kebaikanku. kini, Sayap-sayap malam selalu membawaku pada suasana yang selalu bersahabat dengan embun yang dingin. Aku ingin bercerita kepadamu, namun kutakut ini akan menjadi bebanmu. Kali ini kuingin sekali terlelap tanpa harus memejamkan mataku. Doamu,harapanmu ada padaku. Meski tak ada kata yang lebih bijak selain doa,mungkin harapanmu lebih indah dari yang kubayangkan. kini, waktu membawaku pada suasana yang berbeda, pedihnya air mata terkadang sulit untuk kumaknai. Tahukah kau tentangku ditempat ini, Hujan telah kujadikan penenang meski pelangi jarang kutemui dan selalu saja Malam mengasingkan terangnya pada tatapanku meski begitu aku selalu menunggu pagi yang siap memberiku senyuman pada kilaunya. Yang selalu teringat saat kau pergi menggenggam tangan zassil, kau menitipkan pelukan dan kecupan hangat dikeningku bersama pesan untuk selalu rajin belajar dan tak melupakan Tuhan. Itu bukan yang terakhir, dan aku tak pernah berharap kau benar-benar pergi. Air mata hari itu membanjiri hati yang rapuh dan tersakiti, ayah dan ibu kini menjadi satu yang terbagi. Aku takut mereka melupakan kenangan bahagia, serta kehangatan yang sempurna itu. Kami yang bersama kini telah terbagi. Kadang, hujan mengalir lewat kelopak mata dan Riaknya tak kunjung sirna. kemana lagi kita akan menorehkan jejak jika kedua penopang tubuh tak pernah berpijak pada sajadah suci. # Cerita apa lagi hari ini…. Jika cinta adalah kenyataan yang sakti, doa di antara Aamiin dan Al-Fatihah penyembuh luka atas kerinduan. Tak ada yang bisa kuberi selain doa untuk ayah dan ibu yang memilih untuk berpisah. Mereka tetaplah yang kucinta, mereka tetaplah sepasang sayap yang pernah menyatu. Sayapnya pernah membawaku terbang menyaksikan indahnya dunia, merasakan nikmatnya dingin dan hangat dalam lingkaran waktu. Sejak ibu dan ayah berpisah setiap paginya aku harus menyiapkan segalanya sendiri. Begitu kasihan rasanya ketika melihat ayah yang selalu berlelah sendiri, tak ada ibu yang menyambutnya seperti biasa. Ibu pergi membawa zassil seperti bersedih tapi tak menyimpan sesal, dan kini tak kudengar lagi keceriaan dan tangis manja adikku. Aku merindunya, sungguh sangat rindu dengannya. Inilah rasanya hidup ketika orangtua memilih sebuah jarak yang memisahkan. Tanpa mereka tahu betapa terlukanya kami. ibu jauh dan keadaanpun memaksaku untuk hidup mandiri. Namun, apa kemandirian adalah kesendirian? kurasa bukan itu maksud Tuhan. Hari-hari kulewati seperti biasa, tertawa dan ceria meskipun hati kerap dirundung pilu. Kesendirian itu lagi-lagi mencair, ketika pagi itu dinda bertemu dengan andika. Hingga Belakangan ini andika kerap datang menyapaku lewat pesan singkat, rasa tak enak yang membuatku harus membalas pesannya. Hari-hari berganti kedekatan itu mulai terjalin. Sekali ia datang berkunjung kerumah bersama dinda. Banyak cerita yang terselesaikan. Hati yang kerap dirundung kegalauan memecah ketika menghabiskan waktu bersama andika dan dinda. Banyak waktu yang kami habiskan bertiga. Hingga persoalan keluarga perlahan mampu kutepis. Meski sering jalan bertiga,hal itu tidak membatasi ruang bicara andika untuk mengungkap rasa yang sejak dulu dipendamnya. Namun sedikitpun tak pernah kuberikan harapan untuknya, dan selalu mencoba untuk mengalihkan cerita yang akan menuju sebuah ungkapan rasanya terhadapku. Beberapa kali ia mengungkapkannya, mencari jalan untuk membicarakannya. Banyak cara ia meyakinkanku hingga akhirnya aku berkata jujur padanya tentang segala ketakutan terulangnya kisah-kisah sebelumnya. Malam itu, setelah menghabiskan waktu bersama andika dan dinda aku pulang kerumah. Dengan keadaan lelah aku tertidur. Aku memimpikan andika yang melambaikan tangan, seolah ingin pergi dan benar terlihat ia pergi menghilang bersama gelapnya suasana mimpi. Hingga akhirnya ketiga kali aku melihatnya seperti itu, sungguh mimpi itu menganggu keadaan jiwaku. Beberapa hari setelah aku memimpikannya, dinda memberitahukanku informasi bahwa andika mengalami kecelakaan namun katanya tidak terlalu parah meski harus mendapat perawatan medis. Sejak itu aku rasakan perubahan pada diriku, menjalin keakraban yang lebih dengannya. Banyak waktu yang kami habiskan berdua tanpa dinda. Lagi-lagi aku takut dengan mimpi itu, tak mungkin ia datang tigakali jika itu bukan sebuah penanda. Ah, tidak. Itu hanya kekhawatiranku saja. #kesedihan yang tak berujung, dia pergi… Senja dilangit jingga yang begitu mempesona larut dalam lamunan yang tak berkhayal seolah Membunuh rasa tanpa nurani hingga nyaris tak terasa. Ada kala kedukaan menjelma menjadi kerinduan hingga memopang Rasa namun terabaikan masa. Detik berlari menjemput menit hanya untuk melukis sejarah,lalu hari ini tentang apa lagi? Setiap waktu adalah peristiwa, setiap hidup adalah kematian. Reruntuh hati pada cinta yang kusut, melambai-lambai hingga dijemput maut. Mengapa harus takut selalu menuliskan kisah tentang kematian, bukankah akhir adalah kepastian lalu kematian adalah kepastian akhir. Sore ini, bersama dinda kulahap pemandangan yang membawa hati menuju kesejukan. Semua kisah tentang waktu yang berlalu tertuang dengan kalimat yang tercurah. “Andai waktu bisa terulang, ingin sekali rasanya aku berada dipelukan ayah dan ibu. Aku sangat merindukannya. bila Tuhan mengabulkan satu impianku, aku hanya ingin ikut bersama ayah dan ibu” (ucap dinda perlahan) “jangan berkata seperti itu. Kalau tuhan mengabulkan permintaanmu itu berarti satu persatu orang yang kusayangi pergi menjauh dari hidupku. Ah,itu tak mungkin. Takdir tak sejahat itu” “takdir memang tak sejahat itu, karena Tuhan masih memberiku sahabat yang selalu ada dikala suka dan duka” Percakapan kami terpotong dengan dering handphoneku. Rupanya telfon dari andika, ia mengajakku jalan, tanpa basa-basi aku bicarakan hal itu dengan dinda. Meski dinda terlihat baik melepas kepergianku, kutahu ia masih membutuhkanku didekatnya. Antara iya dan tidak aku meninggalkannya dengan rasa gelisah serta membayangkan ketakutan mimpiku tentang andika. “Zaskia, baik-baik yah. Kau selalu menjadi sahabat terbaikku dulu,saat ini dan selamanya. Terimakasih karena kehadiranmu membuat hidupku lebih berarti”. (ujar dinda saat ingin melepasku) “kenapa kau ucap itu?” (tanyaku) “pergilah, andika lebih membutuhkanmu. Semoga memang dia yang terbaik untukmu, dan tak ada lagi yang akan mengecewakanmu. Kau berhak bahagia” (kata dinda sebelum kuberanjak pergi) Setelah lepas dari pertemuanku dengan dinda, aku melanjutkan hari bersama andika. Meskipun dikepalaku terbayang jelas tentang mimpi yang begitu buruk. Kulalui dengan canda dan tawa, berharap waktu akan berpaling pada mimpi buruk itu. Perlahan gelisah itu meleleh saat mendengar dan melihat keceriaannya, namun mengapa yang terngiang kembali adalah wajah dinda. Aku tiba-tiba merindukannya berharap tak ada penyesalan meninggalkannya sendiri ditempat tadi, tempat kami berbagi cerita. Setelah berlelah dalam kebahagiaan yang mengkhawatirkan, setelah setengah hari bersama andika akhirnya aku berpisah dengannya. Bukan seperti mimpi buruk itu, terpisahkan antara alam dan kubur. Dan aku tak berharap itu. Sesampai dirumah, aku baru melihat beberapa panggilan dihandphoneku. Rupanya dari om arman, paman dinda. Aku mencoba kembali menghubunginya namun tak ada jawaban. Berulang kali kuulangi, kecemasan itu datang saat kufikir baru kali ini om arman menelfonku kecuali mungkin saat dinda tak pulang kerumah. Hingga akhirnya,om arman kembali menelfonku. Dengan nada bergetar kudengar dengan baik apa yang dikatakan om arman, aku tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Berita tentang dinda, kali ini aku berharap dunia bukanlah kenyataan aku berharap dunia semuanya berisikan candaan. Aku tak ingin sadar, air mataku menetes dan menimpan begitu saja apa yang kugenggam. Tubuhku berlari dengan cepat, berharap sedetik bisa sampai ditempat dinda. Sesampainya, aku melihat bendera kuning berkibar. Aku tak berharap warna itu sebagai symbol kedukaan. Kulangkahkan kakiku, berharap jalanan yang kupijak kali ini bukanlah dunia nyata. Langkahku membawa tubuhku disampingnya. Disamping tubuh yang sudah kaku, kutelusuri wajahnya dengan pandanganku berharap akan ada senyuman yang bisa kuperoleh. Dia telah pergi, kenyataan menyadarkanku bahwa tadi adalah pertemuan terakhirku dengannya, dengan dinda sahabatku. Entah penyesalan apa yang kutelan hingga tubuhku serasa beracun. “dinda… jangan tinggalkan aku. Aku janji tak akan meninggalkanmu. kumohon bangunlah..”

Komentar

Postingan Populer